Sunday, January 6, 2013

Refleksi Kuliah Filsafat 12 November 2012



By Anniltal Manzilah
Berfilsafat itu adalah olah pikir. Olah pikir pikiran bangsa Indonesia, olah pikir pikiran bangsa-bangsa di dunia, dan lain-lain. Karena berfilsafat adalah olah pikir, maka dalam berfilsafat kita membutuhkan referensi. Referensi dalam berfilsafat adalah pikiran para filsuf. Jadi, dalam berfilsafat kita harus membaca hasil pemikiran para filsuf. Bahkan untuk hal-hal di masa yang akan datang pun, sudah ada beberapa filsuf yang memikirkannya.
Ada bermacam-macam prinsip filsafat. Macam-macam prinsip filsafat tersebut didasarkan pada obyek filsafatnya. Pada zaman dahulu, orang Yunani memikirkan tentang asal mula segala sesuatu, bumi terbuat dari apa, bulan terbuat dari apa, sehingga filsafatnya disebut filsafat alam. Jika obyek filsafatnya tentang manusia, maka filsafatnya dinamakan filsafat manusia. Filsafat manusia masih dibagi lagi berdasarkan lokasi manusianya. Filsafat yang memperlajari manusia jawa, maka disebut filsafat manusia jawa. Untuk yang obyeknya berupa hal-hal spiritual, maka filsafatnya disebut filsafat spiritual, atau teologi, atau filsafat ketuhanan.
Dalam mempelajari filsafat, kita juga harus professional, artinya kita mempelajari lebih rinci mengenai lokasi obyek. Ada dua kemungkinan lokasi obyek filsafat kita, yaitu obyek di dalam pikiran dan obyek di luar pikiran. Apa yang kita lihat, kita dengar dan kita raba, semua adalah obyek di luar pikiran. Namun, semua itu dapat menjadi obyek di dalam pikiran, jika kita memejamkan mata dan memikirkan benda-benda yang ada di luar pikiran tadi. Filsafat yang mempelajari benda-benda di dalam pikiran, tokohnya adalah Plato, sedangkan yang di luar pikiran tokohnya adalah Aristoteles. Jika obyeknya berada di dalam pikiran, maka filsafatnya adalah idealism, sedangkan jika obyeknya di luar pikiran, maka filsafatnya disebut realism.
Selain itu, macam-macam flsafat juga dapat dilihat dari banyaknya obyek. Jika obyeknya satu, maka filsafatnya disebut monoisme. Jika obyeknya dua, maka filsafatnya disebut dualism. Jika obyeknya banyak, maka filsafatnya disebut pluralism. Jadi, munculnya aliran-aliran filsafat didasarkan pada obyek yang dipelajari, yaitu lokasi obyeknya, banyaknya obyek, karakteristik obyek, macam-macam obyek, dan lain sebagainya.
Filsafat adalah olah pikir. Oleh karena itu, filsafat menembus ruang waktu. Maksudnya adalah mengalami perubahan. Dan berfilsafat itu adalah belajar professional, yaitu belajar intensif dan ekstensif. Intensif artinya mempelajari secara mendalam sedalam-dalamnya, sedangkan ekstensif adalah luas seluas-luasnya. Professional dalam mempelajari filsafat artinya juga kita harus me-reference pada pikiran-pikiran para filsuf, menghubungkan pendapat mereka terkait apa yang kita pikirkan, kemudian dikorespondensikan dengan pengalaman kita.
Dalam berfilsafat, yang menembus ruang dan waktu adalah subyek yang berfilsafat. Ruang dan waktu yang dimaksud memiliki tingkatan dimensi. Menurut Immanuel Kant, waktu itu terbagi menjadi waktu yang berurutan, waktu yang berkelanjutan dan waktu yang berkesatuan. Sedangkan dimensi ruang dimulai dari dimensi nol, dimensi satu, dimensi dua, dimensi tiga, dan seterusnya. Namun, semua itu berlaku dalam teori. Kenyatannya, apa yang kita tempati juga disebut ruang. Ada pula ruang tertutup, ruang terbuka, ruang kecil, ruang sempit, dan seterusnya. Jika kita masukkan dalam bahasa analog, maka ruang dan waktu itu adanya di dalam pikiran kita. Ruang terdiri dari wadah dan isi. Tanpa wadah, kita tidak akan menemukan isi, dan tanpa isi maka kita juga tidak akan menemukan wadah. Untuk memahami ruang, kita harus mengetahui waktu, begitu juga sebaliknya. Untuk memahami ruang dan waktu, kita tidak bisa menggunakan definisi, namun harus menggunakan intuisi.
Menurut para pemikir terdahulu, ruang dimensi tiga adalah ruang yang memiliki tiga sumbu, yaitu panjang, lebar, dan tinggi. Ruang dimensi dua hanya memiliki dua sumbu, yaitu panjang dan lebar. Dari hasil pemikiran tersebut, kita dapat membayangkan ruang dimensi satu, ruang dimensi nol, ruang dimensi lima, dan seterusnya.
Dalam berfilsafat, kita harus berpegang teguh pada spiritual. Namun, pada saat sekarang ini, orang mulai terpengaruh dengan powernow yang memiliki empat ujung tombak, yaitu capitalism, utilitarian, pragmatism, dan hedonism. Orang mulai mengutamakan keuntungan dan kesenangan. Di dunia barat, orang beragama mulai terpinggirkan. Yang diutamakan adalah powernow tadi. Itulah tantang an yang kita hadapi sekarang. Ini juga disebut sebagai ruang, yaitu ruang capitalism, ruang hedonism, dan lain-lain.
Ruang itu sebenarnya adalah salah satu bentuk dari kategori atau klasifikasi. Jadi, pertanyaan tentang “siapa dirimu?” memiliki banyak jawaban, tergantung ruangnya. Orang yang berilmu adalah orang yang bersopan santun terhadap ruang dan waktu. Setiap ruang, memiliki bentuk material, formal, normal, dan spiritual. Jadi, yang menembus ruang dan waktu dari subyek filsafat itu bisa jadi formalnya, materialnya, normalnya, atau spiritualnya.
Selanjutnya adalah tentang bagaimana metode menembus ruang dan waktu. contohnya adalah batu. Jika batu itu adalah batu permata di cincin seseorang, maka metode batu itu menembus ruang dan waktu adalah dengan menempel di tangan orang. Menembus ruang dan waktu, berkaitan juga dengan fenomenologi, kemudian tentang pemahaman kita tentang fondasionalism, dan pemahaman kita tentang anti-fondasionalism.
Fenomenologi adalah karya cipta seorang filsuf bernama Husserl. Pada dasarnya, fenomenologi paling banyak digunakan oleh orang matematika. Fenomenologi memiliki dua unsure dasar, yaitu abstraksi dan idealisasi. Abstraksi sama dengan reduksi, yaitu memilih, terpilih dan dipilih, yang sudah menjadi kodrat manusia, seperti yang sudah dijelaskan pada pertemuan sebelumnya. Filsafat dari memilih dan dipilih ini disebut reduksionism. Efek dari reduksi ini adalah rumah epoche. Jadi, hal-hal yang tidak terpilih oleh kita, maka sama saja artinya kita sedang memasukkan mereka ke rumah epoche. Sedangkan idealisasi adalah menganggap sempurna segala sesuatu. Idealisasi hanya berlaku di dalam pikiran manusia.
Selain fenomenologi, hal berikutnya yang perlu dikaji terkait ruang dan waktu adalah fondasionalism. Semua makhluk beragama adalah kaum fondasionalism, karena semua orang beragama menetapkan Tuhan sebagai kausa prima, yaitu sebab dari segala sebab. Artinya tidak ada sebab lain yang mendahului-Nya, dan Dia-lah sebab pertama dan utama. Maka, seluruh matematikawan di perguruan tinggi, semua adalah kaum fondasionalism, karena mereka selalu memulai belajar dengan doa. Begitu juga dengan semua orang yag berkeluarga, karena pernikahan mereka diawali dengan ijab qobul sebagai fondamennya.
Hakekat manusia itu adalah fondasionalism. Namun, itu baru setengahnya, karena semua manusia punya keterbatasan. Dan banyak dari kita yang tidak mampu mengenali suatu permulaan, karena keterbatasan kita tersebut. Kita tidak mampu mendefiniskan permulaan dari pagi. Pagi itu dimulai pada pukul berapa, tak ada yang mampu menjawab. Kita juga tidak mampu menjawab pertanyaan, sejak kapan kita mulai bisa membedakan besar dan kecil. Hal semacam inilah yang disebut dengan filsafat anti-fondasionalism. Dan ini juga yang akhirnya disebut dengan intuisionism atau intuisi. Intuisi digunakan oleh anak-anak untuk belajar, karena mereka belum mampu belajar dengan definisi. Kita tidak bisa memberikan definisi pada mereka, namun kita mampu mengenalkan matematika pada mereka dengan menggunakan intuisi.
Matematika intuisi adalah matematika konkret. Jadi, obyeknya adalah apa yang bisa mereka lihat dan apa yang bisa mereka raba. Matematika menjadi beban bagi siswa karena mereka tidak diajarkan tentang matematika intuisi lebih dulu oleh guru mereka, tapi langsung melangkah ke definisi.
Jadi, dalam upaya menembus ruang dan waktu, kita harus mengetahui tentang fenomenologi, fondasionalism, dan anti-fondasionalism. Seperti dijelaskan sebelumnya, hakekat manusia adalah fondasionalism, namun sebenarnya manusia sekaligus anti-fondasionalism. Inilah yang dinamakan hidup adalah kontradiksi. Bahwa seorang manusia adalah menganut fondasionalism tapi sekaligus anti-fondasionalism.

No comments:

Post a Comment