By Anniltal Manzilah
Berfilsafat itu adalah olah pikir. Olah pikir pikiran
bangsa Indonesia, olah pikir pikiran bangsa-bangsa di dunia, dan lain-lain.
Karena berfilsafat adalah olah pikir, maka dalam berfilsafat kita membutuhkan
referensi. Referensi dalam berfilsafat adalah pikiran para filsuf. Jadi, dalam
berfilsafat kita harus membaca hasil pemikiran para filsuf. Bahkan untuk
hal-hal di masa yang akan datang pun, sudah ada beberapa filsuf yang
memikirkannya.
Ada bermacam-macam prinsip filsafat. Macam-macam
prinsip filsafat tersebut didasarkan pada obyek filsafatnya. Pada zaman dahulu,
orang Yunani memikirkan tentang asal mula segala sesuatu, bumi terbuat dari apa,
bulan terbuat dari apa, sehingga filsafatnya disebut filsafat alam. Jika obyek
filsafatnya tentang manusia, maka filsafatnya dinamakan filsafat manusia.
Filsafat manusia masih dibagi lagi berdasarkan lokasi manusianya. Filsafat yang
memperlajari manusia jawa, maka disebut filsafat manusia jawa. Untuk yang
obyeknya berupa hal-hal spiritual, maka filsafatnya disebut filsafat spiritual,
atau teologi, atau filsafat ketuhanan.
Dalam mempelajari filsafat, kita juga harus
professional, artinya kita mempelajari lebih rinci mengenai lokasi obyek. Ada
dua kemungkinan lokasi obyek filsafat kita, yaitu obyek di dalam pikiran dan
obyek di luar pikiran. Apa yang kita lihat, kita dengar dan kita raba, semua
adalah obyek di luar pikiran. Namun, semua itu dapat menjadi obyek di dalam
pikiran, jika kita memejamkan mata dan memikirkan benda-benda yang ada di luar
pikiran tadi. Filsafat yang mempelajari benda-benda di dalam pikiran, tokohnya
adalah Plato, sedangkan yang di luar pikiran tokohnya adalah Aristoteles. Jika
obyeknya berada di dalam pikiran, maka filsafatnya adalah idealism, sedangkan
jika obyeknya di luar pikiran, maka filsafatnya disebut realism.
Selain itu, macam-macam flsafat juga dapat dilihat
dari banyaknya obyek. Jika obyeknya satu, maka filsafatnya disebut monoisme.
Jika obyeknya dua, maka filsafatnya disebut dualism. Jika obyeknya banyak, maka
filsafatnya disebut pluralism. Jadi, munculnya aliran-aliran filsafat
didasarkan pada obyek yang dipelajari, yaitu lokasi obyeknya, banyaknya obyek,
karakteristik obyek, macam-macam obyek, dan lain sebagainya.
Filsafat adalah olah pikir. Oleh karena itu, filsafat
menembus ruang waktu. Maksudnya adalah mengalami perubahan. Dan berfilsafat itu
adalah belajar professional, yaitu belajar intensif dan ekstensif. Intensif artinya
mempelajari secara mendalam sedalam-dalamnya, sedangkan ekstensif adalah luas
seluas-luasnya. Professional dalam mempelajari filsafat artinya juga kita harus
me-reference pada pikiran-pikiran
para filsuf, menghubungkan pendapat mereka terkait apa yang kita pikirkan,
kemudian dikorespondensikan dengan pengalaman kita.
Dalam berfilsafat, yang menembus ruang dan waktu
adalah subyek yang berfilsafat. Ruang dan waktu yang dimaksud memiliki
tingkatan dimensi. Menurut Immanuel Kant, waktu itu terbagi menjadi waktu yang
berurutan, waktu yang berkelanjutan dan waktu yang berkesatuan. Sedangkan
dimensi ruang dimulai dari dimensi nol, dimensi satu, dimensi dua, dimensi
tiga, dan seterusnya. Namun, semua itu berlaku dalam teori. Kenyatannya, apa
yang kita tempati juga disebut ruang. Ada pula ruang tertutup, ruang terbuka,
ruang kecil, ruang sempit, dan seterusnya. Jika kita masukkan dalam bahasa
analog, maka ruang dan waktu itu adanya di dalam pikiran kita. Ruang terdiri
dari wadah dan isi. Tanpa wadah, kita tidak akan menemukan isi, dan tanpa isi
maka kita juga tidak akan menemukan wadah. Untuk memahami ruang, kita harus
mengetahui waktu, begitu juga sebaliknya. Untuk memahami ruang dan waktu, kita
tidak bisa menggunakan definisi, namun harus menggunakan intuisi.
Menurut para pemikir terdahulu, ruang dimensi tiga
adalah ruang yang memiliki tiga sumbu, yaitu panjang, lebar, dan tinggi. Ruang
dimensi dua hanya memiliki dua sumbu, yaitu panjang dan lebar. Dari hasil
pemikiran tersebut, kita dapat membayangkan ruang dimensi satu, ruang dimensi
nol, ruang dimensi lima, dan seterusnya.
Dalam berfilsafat, kita harus berpegang teguh pada
spiritual. Namun, pada saat sekarang ini, orang mulai terpengaruh dengan powernow yang memiliki empat ujung
tombak, yaitu capitalism, utilitarian,
pragmatism, dan hedonism. Orang mulai mengutamakan keuntungan dan kesenangan.
Di dunia barat, orang beragama mulai terpinggirkan. Yang diutamakan adalah powernow tadi. Itulah tantang an yang
kita hadapi sekarang. Ini juga disebut sebagai ruang, yaitu ruang capitalism,
ruang hedonism, dan lain-lain.
Ruang itu sebenarnya adalah salah satu bentuk dari
kategori atau klasifikasi. Jadi, pertanyaan tentang “siapa dirimu?” memiliki
banyak jawaban, tergantung ruangnya. Orang yang berilmu adalah orang yang bersopan
santun terhadap ruang dan waktu. Setiap ruang, memiliki bentuk material,
formal, normal, dan spiritual. Jadi, yang menembus ruang dan waktu dari subyek
filsafat itu bisa jadi formalnya, materialnya, normalnya, atau spiritualnya.
Selanjutnya adalah tentang bagaimana metode menembus
ruang dan waktu. contohnya adalah batu. Jika batu itu adalah batu permata di
cincin seseorang, maka metode batu itu menembus ruang dan waktu adalah dengan
menempel di tangan orang. Menembus ruang dan waktu, berkaitan juga dengan
fenomenologi, kemudian tentang pemahaman kita tentang fondasionalism, dan
pemahaman kita tentang anti-fondasionalism.
Fenomenologi adalah karya cipta seorang filsuf bernama
Husserl. Pada dasarnya, fenomenologi paling banyak digunakan oleh orang matematika.
Fenomenologi memiliki dua unsure dasar, yaitu abstraksi dan idealisasi.
Abstraksi sama dengan reduksi, yaitu memilih, terpilih dan dipilih, yang sudah
menjadi kodrat manusia, seperti yang sudah dijelaskan pada pertemuan
sebelumnya. Filsafat dari memilih dan dipilih ini disebut reduksionism. Efek
dari reduksi ini adalah rumah epoche. Jadi, hal-hal yang tidak terpilih oleh
kita, maka sama saja artinya kita sedang memasukkan mereka ke rumah epoche.
Sedangkan idealisasi adalah menganggap sempurna segala sesuatu. Idealisasi
hanya berlaku di dalam pikiran manusia.
Selain fenomenologi, hal berikutnya yang perlu dikaji
terkait ruang dan waktu adalah fondasionalism. Semua makhluk beragama adalah
kaum fondasionalism, karena semua orang beragama menetapkan Tuhan sebagai kausa
prima, yaitu sebab dari segala sebab. Artinya tidak ada sebab lain yang
mendahului-Nya, dan Dia-lah sebab pertama dan utama. Maka, seluruh
matematikawan di perguruan tinggi, semua adalah kaum fondasionalism, karena
mereka selalu memulai belajar dengan doa. Begitu juga dengan semua orang yag
berkeluarga, karena pernikahan mereka diawali dengan ijab qobul sebagai
fondamennya.
Hakekat manusia itu adalah fondasionalism. Namun, itu
baru setengahnya, karena semua manusia punya keterbatasan. Dan banyak dari kita
yang tidak mampu mengenali suatu permulaan, karena keterbatasan kita tersebut.
Kita tidak mampu mendefiniskan permulaan dari pagi. Pagi itu dimulai pada pukul
berapa, tak ada yang mampu menjawab. Kita juga tidak mampu menjawab pertanyaan,
sejak kapan kita mulai bisa membedakan besar dan kecil. Hal semacam inilah yang
disebut dengan filsafat anti-fondasionalism. Dan ini juga yang akhirnya disebut
dengan intuisionism atau intuisi. Intuisi digunakan oleh anak-anak untuk
belajar, karena mereka belum mampu belajar dengan definisi. Kita tidak bisa
memberikan definisi pada mereka, namun kita mampu mengenalkan matematika pada
mereka dengan menggunakan intuisi.
Matematika intuisi adalah matematika konkret. Jadi,
obyeknya adalah apa yang bisa mereka lihat dan apa yang bisa mereka raba.
Matematika menjadi beban bagi siswa karena mereka tidak diajarkan tentang
matematika intuisi lebih dulu oleh guru mereka, tapi langsung melangkah ke
definisi.
Jadi, dalam upaya menembus ruang dan waktu, kita harus
mengetahui tentang fenomenologi, fondasionalism, dan anti-fondasionalism.
Seperti dijelaskan sebelumnya, hakekat manusia adalah fondasionalism, namun
sebenarnya manusia sekaligus anti-fondasionalism. Inilah yang dinamakan hidup
adalah kontradiksi. Bahwa seorang manusia adalah menganut fondasionalism tapi
sekaligus anti-fondasionalism.