Sunday, October 28, 2012

Refleksi Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Matematika (Pertemuan ke-3, 22 Oktober 2012)



Written by:
Anniltal Manzilah
09301241028
Pendidikan Matematika 2009



Nama dari aliran filsafat bisa disesuaikan dengan obyeknya, contoh filsafat yang obyeknya benda2 alam disebut filsafat alam, atau bisa juga aliran filsafat diberi nama berdasarkan tokohnya, contoh filsafat hegelianisme, yaitu diambil dari tokoh sejarah Hegelian . Bisa juga berdasarkan sifat dari obyeknya, contoh filsafat yang mempelajari apa yang ada dalam pikiran dinamai idealisme, karena segala sesuatu yang ada dalam pikiran itu sifatnya ideal. Ideal itu tetap, sehingga alirannya bersesuaian dengan permenidesianism dan plato.  Contoh: bilangan. Bilangan itu tetap kalau dia berada di dalam pikiran, tapi menjadi plural saat berada di luar pikiran, yaitu bisa menjadi lima balon, lima buku, dua kursi, dan lain-lain. Benda yang ada di luar pikiran ini, sifatnya real, sehingga filsafatnya dinamai realisme. Filsafat juga bisa dinamai berdasarnya kegiatannya. Contohnya filsafat Dialektisisme, yaitu filsafatnya Socrates yangh diperoleh dengan bertanya.
Jika yang benar hanya satu, disebut monoisme. Yang benar hanya satu ini maksudnya adalah Tuhan. Jika kita berbicara tentang yang benar itu ada banyak, maka kita mengacu pada dunia, yang kemudian filsafatnya disebut pluralism. Namun, jika yang benar hanya ada dua kutub, contohnya baik dan buruk, makanya filsafatnya disebut dualism. Masyarakat kita cenderung menganut dualism, yaitu ada boleh dan tidak boleh, baik dan buruk, benar dan salah, dan lain-lain. Namun, masyarakat kita kurang terampil dalam menjelaskan ukuran baik dan buruk, dalam menjelaskan jarak antara yang benar dan yang salah. Jarak antara baik-buruk dan benar-salah masih rancu. Jika yang dianggap baik atau benar itu adalah dirinya sendiri, maka filsafatnya adalah subyektivisme. Namun, jika orang mau mengakui pendapat orang lain sebagai yang benar, maka filsafatnya menjadi obyektivisme. Aliran-aliran filsafat yang dijelaskan ini terlihat begitu sederhana, namun utuk memahaminya, sesungguhnya filsafat tidak sesederhana ini.
Manusia tidak bisa lepas dari kegiatan “to determine” atau menentukan. Manusia menentukan baju yang akan dipakai, menentukan ke mana dia akan pergi, dan lain-lain. Determine absolute itu adalah Tuhan. Manusia yang suka menentukan sifat-sifat ini disebut determinis. Kita melihat pun, sebenarnya sudah determine. Kita menentukan apa yang akan kita lihat, kita juga menentukan apa yang akan kita pikirkan. Hampir setiap saat kita melakukan kegiatan determine ini. Determine ini sejalan dengan reduksi. Reduksi itu memilih. Kodrat manusia itu memilih dan terpilih. Kita lahir dari rahim ibu kita, sebenarnya kita terpilih oleh Tuhan. Kita tidak bisa memilih dan menentukan mau dilahirkan oleh ibu yang mana. Dari sinilah kita bisa mulai menyadari bahwa sebenarnya manusia itu sangat lemah.
Metode determine dan reduksi adalah metode yang sangat ampuh, namun juga merugikan dan bisa berbahaya. Saat kita memandang dosen yang sedang memberi penjelasan, sebenarnya kita sedang rugi, karena kita kehilangan kesempatan untuk memandang yang lain pada detik itu. Pada saat kita memandang sesuatu, kita melakukan determine dan reduksi bersamaan. Dan memang harus demikian terjadinya. Kita tidak mungkin menghindari kerugian saat kita menentukan dan memilih untuk memandang sesuatu, karena Tuhan hanya member kita dua mata. Seandainya Tuhan menambahkan dua mata di bagian belakang kepala kita, mungkin kerugian ini bisa kita hindari saat kita melakukan determine dan reduksi. Namun, jelas otak kita tidak akan mampu untuk fokus. Karena itulah, Tuhan hanya memberikan dua mata pada kita, yaitu dua mata yag keberadaannya saling mendukung. Dua mata kita ini saling mendukung. Jika mata kanan kita melirik ke kanan, mata kiri kita akan bergerak ke arah yang sama. Begitu seterusnya. Jika dua mata kita saling bertentangan, jelas kita akan kesulitan. Determine akan menjadi berbahaya saat kegiatan determine ini menutupi sifat-sifat yang lain. Contohnya seorang guru. Saat dia mengajar, dia melakukan kegiatan determine juga, namun jangan sampai determine ini menutupi sifat-sifat siswa, karena sesungguhnya di dalam kelas itu, guru dan siswa memiliki hak yang sama dalam mencari kebenaran. Jadi, jangan sampai karena perbedaan status guru dan siswa, guru akhirnya jadi malah menutupi sifat siswa.
Guru atau dosen di kelas hanya sebagai fasilitator. Contohnya fasilitas yag diberikan dosen mata kuliah filsafat ini adalah elegi. Dengan membaca elegi-elegi buatannya itulah sebenarnya mahasiswa belajar filsafat. Dalam pelaksanaan mata kuliah ini, dosen tidak memberikan filsafat, namun memberikan fasilitas berupa elegi. Berfilsafat tidak bisa dilakukan dengan metode instan. Filsafat ini hidup, sehingga untuk mempelajari dan mendalaminya, kita juga harus menggunakan metode hidup, yaitu dengan bergaul, berinteraksi,berkomunikasi, membaca terus-menerus, dan lain-lain. Kita tidak bisa terlepas dari kegiatan-kegiatan berinteraksi ini. Setiap saat kita hidup dengan berinteraksi dengan udara. Kita tidak bisa hidup tanpa berinteraksi dengan udara. Kita tidak bisa membuat perjanjian dengan udara untuk tidak menyentuhnya dan merasakannya. Jadi, setiap saat kita berinterkasi, karena interaksi ini juga salah satu bukti yang menunjukkan bahwa seseorang itu hidup. Belajar filsafat juga membutuhkan interaksi. Interaksi dengan lingkungan, dengan orang-orang yang berilmu, berinteraksi dengan artikel-artikel dan elegi.
Contoh filsafat yang lain adalah filsafatnya para dewa yang disebut transcendental. Siapakah dewa itu? Dewa itu adalah segala sesuatu (termasuk manusia) yang tingakatannya setingkat lebih tinggi dari benda-benda yang ada di bawahnya. Misalnya kita sendiri. Kita adalah dewa bagi adik-adik kita. Pejabat juga adalah dewa bagi rakyat. Kenapa bisa disebut demikian? Karena filsafat orang yang menjadi dewa ini transcendent bagi yang ada di bawahnya, yaitu pengetahuan orang atau benda yang ada di bawahnya, terbatas untuk mengetahui dewanya. Contohnya kita adalah dewa bagi baju-baju kita, guru adalah dewa bagi siswanya, karena pengetahuan siswa terhadap gurunya sangat terbatas.
Belajar filsafat juga mencakup tentang mempelajari interaksinya para dewa. Oleh karena itu belajar filsafat sesungguhnya tidak mudah, karena terdiri dari tingkatan-tingkatan dimensi. Contohnya seperti unggah-ungguh dalam adat jawa. Penggunaan kata dalam dialek jawa itu juga termasuk penghormatan untuk dewa. Contohnya penggunaan kata “mangan”, “nedha”, dan “dhahar”. “Dhahar” adalah kata ganti makan yang digunakan untuk dewa. Namun, kita tidak boleh menggunakan kata tersebut untuk diri kita sendiri, karena kita tidak boleh mendewakan diri kita sendiri. Inilah yang disebut filsafat transcendental.
Contoh aliran filsafat lain adalah capitalism. Arti sederhananya adalah bahwa yang benar adalah yang untung. Namun, makna sebenarnya dari capitalism tidak sesederhana itu. Seperti kata “empat”. Dalam pikiran kita, “empat” sama dengan “empat”. Namun jika diucapkan, maka sesungguhnya “empat” tidak sama dengan “empat” yang berikutnya, karena keterbatasan ucapan kita. Kita tidak mampu mengucapkan dua kali kata “empat” dengan sama persis. Pun begitu jika kita menuliskannya. Sehingga “empat” sama dengan “empat” itu sesungguhnya hanya benar jika adanya dalam pikiran.
Belajar filsafat itu menggunakan metode hidup. Sehingga kita tidak bisa belajar filsafat hanya dengan mendengarkan. Kita juga harus bertanya, berdialog, menulis, membaca dan melakukan aktivitas-aktivitas yang lain yang termasuk metode hidup. Selain itu, filsafat juga menggunakan bahasa analog yang lebih tinggi dari bahasa kiasan. Sehingga penggunaan kata “dewa” untuk orang yang tingakatannya ada di atas kita, perlu memperhatikan konteks ruang dan waktu dalam menggunakannya. Kita tidak bisa menggunakan kata “dewa” untuk menyebut diri kita saat kita berbicara dengan adik kita. Mengapa demikian? Karena konteksnya tidak tepat. Penggunaan bahasa filsafat tidak boleh sembarangan. Kita harus melihat siapa yag kita ajak bicara dan apakah orang itu memahami filsafat atau tidak. Karena akan berbahaya dan menjadi salah kaprah jika kita menggunakan bahasa filsafat untuk berbicara dengan orang yang tidak memahami filsafat. Bahasa filsafat hanya berlaku dan dapat digunakan saat kita sedang mempelajarinya, contohnya saat kita sedang mengikuti kuliah filsafat. Dan bahasa filsafat akan segera tidak berlaku saat kita keluar dari ruang kuliah dan membaur bersama banyak orang. Oleh karena itu, belajar filsafat perlu kehati-hatian dan perhatian penuh, agar kita tidak salah dalam menggunakannya.

No comments:

Post a Comment