Gadis
itu duduk di depan jendela. Manis wajahnya tak pernah pudar, meski tak lagi
berhias senyum dan tawanya yang khas. Celotehannya tak pernah lagi terdengar
sejak empat bulan yang lalu. Tubuhnya kini hanya tinggal tulang berbalut kulit.
Seorang wanita 40tahunan membuka pintu kamarnya, mendekap gadisnya yang
termenung di depan jendela. Wanita itu mengecup kening gadisnya, lalu
menyuapkan sesendok nasi, meski si gadis tak kunjung membuka mulutnya, bahkan
saat ujung sendok itu telah menyentuh bibirnya. Wanita 40tahunan itu Ipah, ibu
si gadis yang kini tengah menggigit bibirnya, tak kuasa melihat keadaan sang
putri. Baginya, terkena stroke mungkin masih lebih melegakan daripada harus
melihat Zizi dalam keadaan seperti ini.
Kurang
lebih 4 bulan yang lalu, Mak Ipah menerima telpon dari Jogja. Pemilik kost yang
ditempati Zizi menyampaikan keluhan anak-anak kost yang lain tentang keanehan
perilaku Zizi selama beberapa hari terakhir. Mereka tak melihat Zizi keluar
kamar, juga tak mendengar suara Zizi. Yang sampai ke telinga mereka hanyalah
suara musik yang disetel yang terlalu keras, yang tak kunjung memelan sejak
matahari terbit, hingga bulan muncul menggantikannya. Mereka sudah mengetuk,
bahkan menggedor pintu kamar Zizi. Tapi, tak pernah ada jawaban, tak pernah ada
suara pintu terbuka, atau sekedar langkah kaki menuju ke arah daun pintu yang
bergetar karena ketukan yang terlampau keras.
Sejak
saat itu, Mak Ipah akhirnya mengurus cuti kuliah Zizi, dibantu Kiky, adik Zizi
yang sedang menikmati semester keempatnya di salah satu perguruan tinggi negeri
di Jogja. Bukan karena ingin memaksakan sebuah toga wisuda bagi putrinya, tapi
untuk menenangkan dan menyenangkan hatinya sendiri, dengan menciptakan harapan
dan illusinya tentang kesembuhan Zizi. Entah kenapa dan bagaimana ceritanya
Zizi sampai bisa seperti ini, mungkin hanya Zizi dan Tuhan yang tau.
Air
mata Mak Ipah menyusut saat Fafa, adik Zizi yang tengah duduk di bangku SD
mengucap salam dan terdengar derit pintu dibuka. Langkah-langkah mungil Fafa mendekat,
dan terhenti persis di depan pintu kamar Zizi. Bocah tujuh taun itu, entah
karena mengerti kondisi kakak kesayangannya atau lantaran melihat mata sembab
Mak Ipah, tiba-tiba butiran bening meluncur dari bola matanya yang jernih. Fafa
mengambil dan mencium tangan Mak Ipah, lalu mendekat pada Zizi. Mak Ipah
bangkit, membiarkan Fafa meluapkan kerinduannya pada sang kakak yang seolah
membatu bak arca sejak empat bulan yang lalu.
“Mbak,
mau Empah entuk biji 100 ulangan matematika.” Zizi tetap mematung, seolah
kata-kata Fafa terkalahkan oleh suara langkah kaki semut-semut yang berada di
bingkai jendelanya.
“Mbaaaakkkk…,”
Fafa, entah karena kesal atau putus asa, mulai berteriak. Batiran bening jatuh
tetes demi tetes dari bola mata bulatnya. Mak Ipah hanya mampu menahan pilu
menyaksikan pemandangan di depan matanya. Mak Ipah sadar bahwa Zizi adalah
kakak yang sangat dicintai semua adiknya. Kepulangan Zizi dari Jogja selalu
menjadi hal yang paling dinantikan oleh Fafa dan Nuna. Setiap si sulung pulang,
Fafa selalu yang paling antusias membuka tas Zizi, mengaduk semua isinya dan
mengambil apapun yang membuatnya tertarik. Berbeda dengan Fafa yang suka tas
Zizi, Nuna lebih suka merentangkan tangannya dan berlari ke arah Zizi, lalu
bergelayut dalam gendongannya. Betapa semuanya adalah gambaran sempurna sebuah
kehidupan. Atau hanya topeng bahagia diantara sekian banyak luka dan kepedihan?
Hanya Zizi dan Tuhan yang tau jawabannya.
Sore
itu, semua keluarga berkumpul kecuali Kiky, yang entah sedang melakukan
aktivitas apa di antara hiruk pikuk kota Jogja. Seperi hari-hari sebelumnya,
mereka berkumpul di depan tivi. Bedanya, selama empat bulan terakhir sejak
kepulangan Zizi, keramaian dan keonaran di rumah sederhana itu berkurang volume
dan frekuensinya. Malam itu semua menonton tivi dalam diam, tapi semua isi
kepala mereka kurang lebih sama, hanya tentang Zizi. Suara tivi yang dinyalakan
tak lebih dari sebuah sandiwara untuk membungkus kebisuan mereka semua.
Dua
jam berlalu, duo kurcaci Fafa dan Nuna sudah tergeletak di atas karpet. Mak
Ipah dan Pak Jali mengangkat dua tubuh mungil itu dan memindahkannya ke kamar.
Sesaat Mak Ipah memandangi keduanya dan tersenyum getir. Entah sudah sampai
dimana khayalan kedua kurcaci kecil ini. Fafa yang cerdas dan cerewet mungkin
sedang menata kepingan mimpinya bersama Zizi. Anak itu kadang berpikir lebih
dewasa dari usianya. Nuna, si pipi chubby dan maniak kamera itu pun mungkin
telah sampai entah di negeri dongeng mana.
Kini
tinggal Mak Ipah dan Pak Jali yang duduk dalam kebisuan di depan layar cembung
berukuran 14’ tersebut. Yaya sudah masuk ke kamarnya, yang juga kamar Zizi.
Sebenarnya, remaja 14 taun itu keberatan saat ibunya bersikukuh agar dia tetap
satu kamar dengan Zizi. Baginya, Zizi yang sekarang terbaring di sisinya dengan
tatapan kosong itu bukan lagi kakaknya. Zizi yang dikenalnya tidak akan pernah
bisa sediam dan setenang ini di sampingnya.
“Pak,
sampai kapan kita akan membiarkan Zizi seperti ini? Apa tidak sebaiknya kita
mencari tau penyebabnya? Atau setidaknya memulai berikhtiar untuk kesembuhan
Zizi.”
“Itu
yang sedang aku pikirkan. Besok kita coba telpon semua teman-teman terdekatnya.
Atau kita undang mereka kesini, sekadar untuk menyapa Zizi. Mungkin itu bisa
membantu Zizi tersenyum.”
“Iya,
Pak. Rasanya aku sendiri tidak kuat jika harus melihat Zizi terus-terusan
seperti ini.”
Pak
Jali memeluk istrinya. Pelukan itu bukan sekadar usaha untuk menenangkan Mak
Ipah, tapi juga semacam usaha mencari kekuatan untuk menenangkan batin Pak Jali
sendiri.
Pagi
yang mendung. Awan kelabu tergantung di atas jajaran rumah mungil di kompleks
perumahan sederhana itu. Seorang laki-laki berumur 30an keluar dari salah satu
pintu rumah yang berjajar rapi itu. Perempuan berjilbab ikut keluar, lalu
menyalami laki-laki tadi dan mencium tangannya dengan khidmat. Sungguh
pemandangan jum’at pagi yang luar biasa. Dari bola mata Syifa, perempuan
berjilbab yang berdiri dengan anggun itu, mengalir cinta yang deras untuk sang
suami, laki-laki yang baru saja pergi dengan motornya untuk mencari nafkah bagi
keluarga kecil mereka.
Syifa
kembali masuk ke rumah mungilnya untuk melakukan aktivitas hariannya sebagai
ibu rumah tangga. Syifa masuk ke kamar untuk mengambil pakaian suaminya yang
tergantung di balik pintu, hingga gendang telinganya disentil oleh dering hp
sang suami yang tergeletak di meja samping tempat tidur mereka. Dua belas digit
angka tampak di layar hp suaminya. Tak ada nama untuk nomor itu, namun Syifa
memberanikan diri untuk mengangkat panggilan itu. Aku istrinya. Jadi, aku juga berhak mengangkat telpon ini.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumussalam
wa rahmatullah. Mbak, bisa bicara dengan Mas Agung?”
“Maaf,
ini dengan siapa, ya?”
“Ini
ibunya Zizi. Apa saya bisa berbicara dengan Mas Agung?”
“Maaf,
Bu. Tapi, Mas Agung sedang keliling. Boleh saya tau keperluannya? Nanti biar
saya sampaikan ke Mas Agung.”
“Terima
kasih banyak, Mbak. Barokallahulakum. Tolong sampaikan pada Mas Agung, Zizi
sakit dan sekarang ada di rumah Pekalongan. Kami sangat berharap Mas Agung dan
Mbak Syifa bisa datang untuk membantu Zizi. Tolong sampaikan itu pada Mas
Agung, Mbak. Terimas kasih sebelumnya. Assalamu’alaikum…”
Mak
Ipah menutup telpon setelah mendengar jawaban salam dari Syifa. Sementara
Syifa, hatinya panas dan wajahnya memerah karena amarah dan cemburu yang tak
mampu dibendungnya. Zizi, adalah satu-satunya ancaman bagi kebahagiaan rumah
tangganya. Zizi adalah sosok yang Syifa yakin sampai kini pun, tak mampu
dihapus dari ingatan Agung. Syifa dengan susah payah membangun rumah tangganya
dengan Agung di Bekasi, menjauh sebisa mungkin dari bayang-bayang nama itu.
Syifa tau, Agung tak akan pernah bisa benar-benar mengenyahkan Zizi dari
benaknya, dari lembaran-lembaran kehidupannya, dari daftar orang-orang yang
dikhawatirkannya. Sekali nama itu muncul ke permukaan dan sampai ke telinga
Agung, dinding yang Syifa bangun untuk menyekat Agung dan Zizi akan runtuh
seketika.
Syifa
mulai mencuci baju, mengusir jauh-jauh nama Zizi dari pikirannya, dan bersikap
seolah pembicaraan via telpon tadi tak pernah terjadi. Syifa telah menghapus
bukti adanya panggilan tadi. Syifa benar-benar tidak ingin Zizi mengusik rumah
tangganya dengan Agung, apalagi dengan kehadiran si kecil dalam rahimnya.
Kalaupun Zizi benar sakit, kenapa
harus Mas Agung yang mereka hubungi? Apa playgirl itu sudah kehabisan stok
sampai harus menghubungi Mas Agung yang jelas-jelas sudah beristri.
***
Di
rumah Zizi, satu per satu temannya datang menjenguk. Dea, sahabat Zizi sejak
kelas 2 SMA, menangis sesenggukan di ruang tamu rumah Zizi. Dea datang bersama
pacarnya. Sepanjang perjalanan mereka ke rumah Zizi, Dea dengan bangga
menceritakan tentang sosok Zizi, sahabat teraneh sekaligus yang paling
mengagumkan itu, pada mas pacar yang kini ia pinjam bahunya sebagai sandaran
untuk menuangkan air matanya.
Di
dalam kamar Zizi, ada Mbak Santi, sahabat Zizi sejak kelas 1 SMA, yang dulu
sempat perang dengan Dea karena berebut menjadi orang penting bagi seorang
pemain sepak bola andalan sekolah mereka. Masih ada Prisna, yang dulu selalu
mengandalkan Zizi sebagai penyangga saat dirinya patah hati. Ada laras, teman
sekaligus adik yang selalu menganggap selalu menganggap Zizi sebagai tempat
yang tepat untuk menumpahkan beban di pundaknya sekaligus meminta nasehat.
“Ibuk,
sejak kapan Zizi seperti ini?” Dea memberanikan diri bertanya pada Mak Ipah,
disusul tatap mata seisi ruangan yang menanti jawaban Mak Ipah.
“Empat
bulan yang lalu, dek. Adek-adek ini ada yang tau kenapa Zizi seperti ini? Apa
Zizi pernah cerita atau mengeluhkan sesuatu pada kalian?”
“Mboten,
Bu. Terakhir Zizi Cuma cerita tentang seseorang bernama Zaky. Zizi
mengenalkannya pada saya lewat facebook, tapi saya justru merasa kalo Zizi yang
suka sama orang bernama Zaky ini.”
“Waktu
KKN, Zizi memang sempat cerita kalo dia lagi seneng sama orang. Tapi anak itu
tidak menyebutkan namanya. Mungkin si Zaky itu yang dia maksud. Adek punya
nomor hp-nya?”
“Mboten,
Bu. Kulo nggeh dereng natih kepanggih tiyange. Tapi nanti coba saya carikan
kontaknya, atau saya coba hubungi sekalian.”
Air
mata Mak Ipah tak terbendung lagi. Entah karena terharu, atau karena terlalu
mengharapkan kesembuhan Zizi. Pak Jali yang baru pulang dari sawah, menyalami
teman-teman Zizi.
“Bu,
apa nggak ada yang tau password hape, laptop atau facebooknya?” Laras nyeletuk
dalam keheningan ruangan itu.
“Kami
bahkan tidak tau di mana Zizi menaruh hp dan laptopnya. Mencari nomor adek-adek
ini saja sudah sulit sekali.”
“Jadi,
waktu Zizi dibawa pulang dari Jogja…”
“Kami
tidak menemukan laptop dan hapenya. Teman-teman di kosnya juga tidak ada yang
tau. Yang mereka yakini, laptop Zizi masih ada, hanya entah dititipkan dimana.
Karena Zizi pasti akan cerita pada mereka kalau dia kehilangan barang
berharganya.”
Percakapan
terus berlanjut tentang hari-hari Zizi di SMA, hingga perjalanan awal kuliahnya.
Hanya saja, tak ada cerita yang bisa dikaitkan dengan kondisi Zizi sekarang.
No comments:
Post a Comment