Sunday, October 28, 2012

Refleksi Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Matematika (Pertemuan ke-3, 22 Oktober 2012)



Written by:
Anniltal Manzilah
09301241028
Pendidikan Matematika 2009



Nama dari aliran filsafat bisa disesuaikan dengan obyeknya, contoh filsafat yang obyeknya benda2 alam disebut filsafat alam, atau bisa juga aliran filsafat diberi nama berdasarkan tokohnya, contoh filsafat hegelianisme, yaitu diambil dari tokoh sejarah Hegelian . Bisa juga berdasarkan sifat dari obyeknya, contoh filsafat yang mempelajari apa yang ada dalam pikiran dinamai idealisme, karena segala sesuatu yang ada dalam pikiran itu sifatnya ideal. Ideal itu tetap, sehingga alirannya bersesuaian dengan permenidesianism dan plato.  Contoh: bilangan. Bilangan itu tetap kalau dia berada di dalam pikiran, tapi menjadi plural saat berada di luar pikiran, yaitu bisa menjadi lima balon, lima buku, dua kursi, dan lain-lain. Benda yang ada di luar pikiran ini, sifatnya real, sehingga filsafatnya dinamai realisme. Filsafat juga bisa dinamai berdasarnya kegiatannya. Contohnya filsafat Dialektisisme, yaitu filsafatnya Socrates yangh diperoleh dengan bertanya.
Jika yang benar hanya satu, disebut monoisme. Yang benar hanya satu ini maksudnya adalah Tuhan. Jika kita berbicara tentang yang benar itu ada banyak, maka kita mengacu pada dunia, yang kemudian filsafatnya disebut pluralism. Namun, jika yang benar hanya ada dua kutub, contohnya baik dan buruk, makanya filsafatnya disebut dualism. Masyarakat kita cenderung menganut dualism, yaitu ada boleh dan tidak boleh, baik dan buruk, benar dan salah, dan lain-lain. Namun, masyarakat kita kurang terampil dalam menjelaskan ukuran baik dan buruk, dalam menjelaskan jarak antara yang benar dan yang salah. Jarak antara baik-buruk dan benar-salah masih rancu. Jika yang dianggap baik atau benar itu adalah dirinya sendiri, maka filsafatnya adalah subyektivisme. Namun, jika orang mau mengakui pendapat orang lain sebagai yang benar, maka filsafatnya menjadi obyektivisme. Aliran-aliran filsafat yang dijelaskan ini terlihat begitu sederhana, namun utuk memahaminya, sesungguhnya filsafat tidak sesederhana ini.
Manusia tidak bisa lepas dari kegiatan “to determine” atau menentukan. Manusia menentukan baju yang akan dipakai, menentukan ke mana dia akan pergi, dan lain-lain. Determine absolute itu adalah Tuhan. Manusia yang suka menentukan sifat-sifat ini disebut determinis. Kita melihat pun, sebenarnya sudah determine. Kita menentukan apa yang akan kita lihat, kita juga menentukan apa yang akan kita pikirkan. Hampir setiap saat kita melakukan kegiatan determine ini. Determine ini sejalan dengan reduksi. Reduksi itu memilih. Kodrat manusia itu memilih dan terpilih. Kita lahir dari rahim ibu kita, sebenarnya kita terpilih oleh Tuhan. Kita tidak bisa memilih dan menentukan mau dilahirkan oleh ibu yang mana. Dari sinilah kita bisa mulai menyadari bahwa sebenarnya manusia itu sangat lemah.
Metode determine dan reduksi adalah metode yang sangat ampuh, namun juga merugikan dan bisa berbahaya. Saat kita memandang dosen yang sedang memberi penjelasan, sebenarnya kita sedang rugi, karena kita kehilangan kesempatan untuk memandang yang lain pada detik itu. Pada saat kita memandang sesuatu, kita melakukan determine dan reduksi bersamaan. Dan memang harus demikian terjadinya. Kita tidak mungkin menghindari kerugian saat kita menentukan dan memilih untuk memandang sesuatu, karena Tuhan hanya member kita dua mata. Seandainya Tuhan menambahkan dua mata di bagian belakang kepala kita, mungkin kerugian ini bisa kita hindari saat kita melakukan determine dan reduksi. Namun, jelas otak kita tidak akan mampu untuk fokus. Karena itulah, Tuhan hanya memberikan dua mata pada kita, yaitu dua mata yag keberadaannya saling mendukung. Dua mata kita ini saling mendukung. Jika mata kanan kita melirik ke kanan, mata kiri kita akan bergerak ke arah yang sama. Begitu seterusnya. Jika dua mata kita saling bertentangan, jelas kita akan kesulitan. Determine akan menjadi berbahaya saat kegiatan determine ini menutupi sifat-sifat yang lain. Contohnya seorang guru. Saat dia mengajar, dia melakukan kegiatan determine juga, namun jangan sampai determine ini menutupi sifat-sifat siswa, karena sesungguhnya di dalam kelas itu, guru dan siswa memiliki hak yang sama dalam mencari kebenaran. Jadi, jangan sampai karena perbedaan status guru dan siswa, guru akhirnya jadi malah menutupi sifat siswa.
Guru atau dosen di kelas hanya sebagai fasilitator. Contohnya fasilitas yag diberikan dosen mata kuliah filsafat ini adalah elegi. Dengan membaca elegi-elegi buatannya itulah sebenarnya mahasiswa belajar filsafat. Dalam pelaksanaan mata kuliah ini, dosen tidak memberikan filsafat, namun memberikan fasilitas berupa elegi. Berfilsafat tidak bisa dilakukan dengan metode instan. Filsafat ini hidup, sehingga untuk mempelajari dan mendalaminya, kita juga harus menggunakan metode hidup, yaitu dengan bergaul, berinteraksi,berkomunikasi, membaca terus-menerus, dan lain-lain. Kita tidak bisa terlepas dari kegiatan-kegiatan berinteraksi ini. Setiap saat kita hidup dengan berinteraksi dengan udara. Kita tidak bisa hidup tanpa berinteraksi dengan udara. Kita tidak bisa membuat perjanjian dengan udara untuk tidak menyentuhnya dan merasakannya. Jadi, setiap saat kita berinterkasi, karena interaksi ini juga salah satu bukti yang menunjukkan bahwa seseorang itu hidup. Belajar filsafat juga membutuhkan interaksi. Interaksi dengan lingkungan, dengan orang-orang yang berilmu, berinteraksi dengan artikel-artikel dan elegi.
Contoh filsafat yang lain adalah filsafatnya para dewa yang disebut transcendental. Siapakah dewa itu? Dewa itu adalah segala sesuatu (termasuk manusia) yang tingakatannya setingkat lebih tinggi dari benda-benda yang ada di bawahnya. Misalnya kita sendiri. Kita adalah dewa bagi adik-adik kita. Pejabat juga adalah dewa bagi rakyat. Kenapa bisa disebut demikian? Karena filsafat orang yang menjadi dewa ini transcendent bagi yang ada di bawahnya, yaitu pengetahuan orang atau benda yang ada di bawahnya, terbatas untuk mengetahui dewanya. Contohnya kita adalah dewa bagi baju-baju kita, guru adalah dewa bagi siswanya, karena pengetahuan siswa terhadap gurunya sangat terbatas.
Belajar filsafat juga mencakup tentang mempelajari interaksinya para dewa. Oleh karena itu belajar filsafat sesungguhnya tidak mudah, karena terdiri dari tingkatan-tingkatan dimensi. Contohnya seperti unggah-ungguh dalam adat jawa. Penggunaan kata dalam dialek jawa itu juga termasuk penghormatan untuk dewa. Contohnya penggunaan kata “mangan”, “nedha”, dan “dhahar”. “Dhahar” adalah kata ganti makan yang digunakan untuk dewa. Namun, kita tidak boleh menggunakan kata tersebut untuk diri kita sendiri, karena kita tidak boleh mendewakan diri kita sendiri. Inilah yang disebut filsafat transcendental.
Contoh aliran filsafat lain adalah capitalism. Arti sederhananya adalah bahwa yang benar adalah yang untung. Namun, makna sebenarnya dari capitalism tidak sesederhana itu. Seperti kata “empat”. Dalam pikiran kita, “empat” sama dengan “empat”. Namun jika diucapkan, maka sesungguhnya “empat” tidak sama dengan “empat” yang berikutnya, karena keterbatasan ucapan kita. Kita tidak mampu mengucapkan dua kali kata “empat” dengan sama persis. Pun begitu jika kita menuliskannya. Sehingga “empat” sama dengan “empat” itu sesungguhnya hanya benar jika adanya dalam pikiran.
Belajar filsafat itu menggunakan metode hidup. Sehingga kita tidak bisa belajar filsafat hanya dengan mendengarkan. Kita juga harus bertanya, berdialog, menulis, membaca dan melakukan aktivitas-aktivitas yang lain yang termasuk metode hidup. Selain itu, filsafat juga menggunakan bahasa analog yang lebih tinggi dari bahasa kiasan. Sehingga penggunaan kata “dewa” untuk orang yang tingakatannya ada di atas kita, perlu memperhatikan konteks ruang dan waktu dalam menggunakannya. Kita tidak bisa menggunakan kata “dewa” untuk menyebut diri kita saat kita berbicara dengan adik kita. Mengapa demikian? Karena konteksnya tidak tepat. Penggunaan bahasa filsafat tidak boleh sembarangan. Kita harus melihat siapa yag kita ajak bicara dan apakah orang itu memahami filsafat atau tidak. Karena akan berbahaya dan menjadi salah kaprah jika kita menggunakan bahasa filsafat untuk berbicara dengan orang yang tidak memahami filsafat. Bahasa filsafat hanya berlaku dan dapat digunakan saat kita sedang mempelajarinya, contohnya saat kita sedang mengikuti kuliah filsafat. Dan bahasa filsafat akan segera tidak berlaku saat kita keluar dari ruang kuliah dan membaur bersama banyak orang. Oleh karena itu, belajar filsafat perlu kehati-hatian dan perhatian penuh, agar kita tidak salah dalam menggunakannya.

Sunday, October 7, 2012

Untitled



Gadis itu duduk di depan jendela. Manis wajahnya tak pernah pudar, meski tak lagi berhias senyum dan tawanya yang khas. Celotehannya tak pernah lagi terdengar sejak empat bulan yang lalu. Tubuhnya kini hanya tinggal tulang berbalut kulit. Seorang wanita 40tahunan membuka pintu kamarnya, mendekap gadisnya yang termenung di depan jendela. Wanita itu mengecup kening gadisnya, lalu menyuapkan sesendok nasi, meski si gadis tak kunjung membuka mulutnya, bahkan saat ujung sendok itu telah menyentuh bibirnya. Wanita 40tahunan itu Ipah, ibu si gadis yang kini tengah menggigit bibirnya, tak kuasa melihat keadaan sang putri. Baginya, terkena stroke mungkin masih lebih melegakan daripada harus melihat Zizi dalam keadaan seperti ini.
Kurang lebih 4 bulan yang lalu, Mak Ipah menerima telpon dari Jogja. Pemilik kost yang ditempati Zizi menyampaikan keluhan anak-anak kost yang lain tentang keanehan perilaku Zizi selama beberapa hari terakhir. Mereka tak melihat Zizi keluar kamar, juga tak mendengar suara Zizi. Yang sampai ke telinga mereka hanyalah suara musik yang disetel yang terlalu keras, yang tak kunjung memelan sejak matahari terbit, hingga bulan muncul menggantikannya. Mereka sudah mengetuk, bahkan menggedor pintu kamar Zizi. Tapi, tak pernah ada jawaban, tak pernah ada suara pintu terbuka, atau sekedar langkah kaki menuju ke arah daun pintu yang bergetar karena ketukan yang terlampau keras.
Sejak saat itu, Mak Ipah akhirnya mengurus cuti kuliah Zizi, dibantu Kiky, adik Zizi yang sedang menikmati semester keempatnya di salah satu perguruan tinggi negeri di Jogja. Bukan karena ingin memaksakan sebuah toga wisuda bagi putrinya, tapi untuk menenangkan dan menyenangkan hatinya sendiri, dengan menciptakan harapan dan illusinya tentang kesembuhan Zizi. Entah kenapa dan bagaimana ceritanya Zizi sampai bisa seperti ini, mungkin hanya Zizi dan Tuhan yang tau.
Air mata Mak Ipah menyusut saat Fafa, adik Zizi yang tengah duduk di bangku SD mengucap salam dan terdengar derit pintu dibuka. Langkah-langkah mungil Fafa mendekat, dan terhenti persis di depan pintu kamar Zizi. Bocah tujuh taun itu, entah karena mengerti kondisi kakak kesayangannya atau lantaran melihat mata sembab Mak Ipah, tiba-tiba butiran bening meluncur dari bola matanya yang jernih. Fafa mengambil dan mencium tangan Mak Ipah, lalu mendekat pada Zizi. Mak Ipah bangkit, membiarkan Fafa meluapkan kerinduannya pada sang kakak yang seolah membatu bak arca sejak empat bulan yang lalu.
“Mbak, mau Empah entuk biji 100 ulangan matematika.” Zizi tetap mematung, seolah kata-kata Fafa terkalahkan oleh suara langkah kaki semut-semut yang berada di bingkai jendelanya.
“Mbaaaakkkk…,” Fafa, entah karena kesal atau putus asa, mulai berteriak. Batiran bening jatuh tetes demi tetes dari bola mata bulatnya. Mak Ipah hanya mampu menahan pilu menyaksikan pemandangan di depan matanya. Mak Ipah sadar bahwa Zizi adalah kakak yang sangat dicintai semua adiknya. Kepulangan Zizi dari Jogja selalu menjadi hal yang paling dinantikan oleh Fafa dan Nuna. Setiap si sulung pulang, Fafa selalu yang paling antusias membuka tas Zizi, mengaduk semua isinya dan mengambil apapun yang membuatnya tertarik. Berbeda dengan Fafa yang suka tas Zizi, Nuna lebih suka merentangkan tangannya dan berlari ke arah Zizi, lalu bergelayut dalam gendongannya. Betapa semuanya adalah gambaran sempurna sebuah kehidupan. Atau hanya topeng bahagia diantara sekian banyak luka dan kepedihan? Hanya Zizi dan Tuhan yang tau jawabannya.
Sore itu, semua keluarga berkumpul kecuali Kiky, yang entah sedang melakukan aktivitas apa di antara hiruk pikuk kota Jogja. Seperi hari-hari sebelumnya, mereka berkumpul di depan tivi. Bedanya, selama empat bulan terakhir sejak kepulangan Zizi, keramaian dan keonaran di rumah sederhana itu berkurang volume dan frekuensinya. Malam itu semua menonton tivi dalam diam, tapi semua isi kepala mereka kurang lebih sama, hanya tentang Zizi. Suara tivi yang dinyalakan tak lebih dari sebuah sandiwara untuk membungkus kebisuan mereka semua.
Dua jam berlalu, duo kurcaci Fafa dan Nuna sudah tergeletak di atas karpet. Mak Ipah dan Pak Jali mengangkat dua tubuh mungil itu dan memindahkannya ke kamar. Sesaat Mak Ipah memandangi keduanya dan tersenyum getir. Entah sudah sampai dimana khayalan kedua kurcaci kecil ini. Fafa yang cerdas dan cerewet mungkin sedang menata kepingan mimpinya bersama Zizi. Anak itu kadang berpikir lebih dewasa dari usianya. Nuna, si pipi chubby dan maniak kamera itu pun mungkin telah sampai entah di negeri dongeng mana.
Kini tinggal Mak Ipah dan Pak Jali yang duduk dalam kebisuan di depan layar cembung berukuran 14’ tersebut. Yaya sudah masuk ke kamarnya, yang juga kamar Zizi. Sebenarnya, remaja 14 taun itu keberatan saat ibunya bersikukuh agar dia tetap satu kamar dengan Zizi. Baginya, Zizi yang sekarang terbaring di sisinya dengan tatapan kosong itu bukan lagi kakaknya. Zizi yang dikenalnya tidak akan pernah bisa sediam dan setenang ini di sampingnya.
“Pak, sampai kapan kita akan membiarkan Zizi seperti ini? Apa tidak sebaiknya kita mencari tau penyebabnya? Atau setidaknya memulai berikhtiar untuk kesembuhan Zizi.”
“Itu yang sedang aku pikirkan. Besok kita coba telpon semua teman-teman terdekatnya. Atau kita undang mereka kesini, sekadar untuk menyapa Zizi. Mungkin itu bisa membantu Zizi tersenyum.”
“Iya, Pak. Rasanya aku sendiri tidak kuat jika harus melihat Zizi terus-terusan seperti ini.”
Pak Jali memeluk istrinya. Pelukan itu bukan sekadar usaha untuk menenangkan Mak Ipah, tapi juga semacam usaha mencari kekuatan untuk menenangkan batin Pak Jali sendiri.

Pagi yang mendung. Awan kelabu tergantung di atas jajaran rumah mungil di kompleks perumahan sederhana itu. Seorang laki-laki berumur 30an keluar dari salah satu pintu rumah yang berjajar rapi itu. Perempuan berjilbab ikut keluar, lalu menyalami laki-laki tadi dan mencium tangannya dengan khidmat. Sungguh pemandangan jum’at pagi yang luar biasa. Dari bola mata Syifa, perempuan berjilbab yang berdiri dengan anggun itu, mengalir cinta yang deras untuk sang suami, laki-laki yang baru saja pergi dengan motornya untuk mencari nafkah bagi keluarga kecil mereka.
Syifa kembali masuk ke rumah mungilnya untuk melakukan aktivitas hariannya sebagai ibu rumah tangga. Syifa masuk ke kamar untuk mengambil pakaian suaminya yang tergantung di balik pintu, hingga gendang telinganya disentil oleh dering hp sang suami yang tergeletak di meja samping tempat tidur mereka. Dua belas digit angka tampak di layar hp suaminya. Tak ada nama untuk nomor itu, namun Syifa memberanikan diri untuk mengangkat panggilan itu. Aku istrinya. Jadi, aku juga berhak mengangkat telpon ini.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumussalam wa rahmatullah. Mbak, bisa bicara dengan Mas Agung?”
“Maaf, ini dengan siapa, ya?”
“Ini ibunya Zizi. Apa saya bisa berbicara dengan Mas Agung?”
“Maaf, Bu. Tapi, Mas Agung sedang keliling. Boleh saya tau keperluannya? Nanti biar saya sampaikan ke Mas Agung.”
“Terima kasih banyak, Mbak. Barokallahulakum. Tolong sampaikan pada Mas Agung, Zizi sakit dan sekarang ada di rumah Pekalongan. Kami sangat berharap Mas Agung dan Mbak Syifa bisa datang untuk membantu Zizi. Tolong sampaikan itu pada Mas Agung, Mbak. Terimas kasih sebelumnya. Assalamu’alaikum…”
Mak Ipah menutup telpon setelah mendengar jawaban salam dari Syifa. Sementara Syifa, hatinya panas dan wajahnya memerah karena amarah dan cemburu yang tak mampu dibendungnya. Zizi, adalah satu-satunya ancaman bagi kebahagiaan rumah tangganya. Zizi adalah sosok yang Syifa yakin sampai kini pun, tak mampu dihapus dari ingatan Agung. Syifa dengan susah payah membangun rumah tangganya dengan Agung di Bekasi, menjauh sebisa mungkin dari bayang-bayang nama itu. Syifa tau, Agung tak akan pernah bisa benar-benar mengenyahkan Zizi dari benaknya, dari lembaran-lembaran kehidupannya, dari daftar orang-orang yang dikhawatirkannya. Sekali nama itu muncul ke permukaan dan sampai ke telinga Agung, dinding yang Syifa bangun untuk menyekat Agung dan Zizi akan runtuh seketika.
Syifa mulai mencuci baju, mengusir jauh-jauh nama Zizi dari pikirannya, dan bersikap seolah pembicaraan via telpon tadi tak pernah terjadi. Syifa telah menghapus bukti adanya panggilan tadi. Syifa benar-benar tidak ingin Zizi mengusik rumah tangganya dengan Agung, apalagi dengan kehadiran si kecil dalam rahimnya.
Kalaupun Zizi benar sakit, kenapa harus Mas Agung yang mereka hubungi? Apa playgirl itu sudah kehabisan stok sampai harus menghubungi Mas Agung yang jelas-jelas sudah beristri.
                                                                        ***
Di rumah Zizi, satu per satu temannya datang menjenguk. Dea, sahabat Zizi sejak kelas 2 SMA, menangis sesenggukan di ruang tamu rumah Zizi. Dea datang bersama pacarnya. Sepanjang perjalanan mereka ke rumah Zizi, Dea dengan bangga menceritakan tentang sosok Zizi, sahabat teraneh sekaligus yang paling mengagumkan itu, pada mas pacar yang kini ia pinjam bahunya sebagai sandaran untuk menuangkan air matanya.
Di dalam kamar Zizi, ada Mbak Santi, sahabat Zizi sejak kelas 1 SMA, yang dulu sempat perang dengan Dea karena berebut menjadi orang penting bagi seorang pemain sepak bola andalan sekolah mereka. Masih ada Prisna, yang dulu selalu mengandalkan Zizi sebagai penyangga saat dirinya patah hati. Ada laras, teman sekaligus adik yang selalu menganggap selalu menganggap Zizi sebagai tempat yang tepat untuk menumpahkan beban di pundaknya sekaligus meminta nasehat.
“Ibuk, sejak kapan Zizi seperti ini?” Dea memberanikan diri bertanya pada Mak Ipah, disusul tatap mata seisi ruangan yang menanti jawaban Mak Ipah.
“Empat bulan yang lalu, dek. Adek-adek ini ada yang tau kenapa Zizi seperti ini? Apa Zizi pernah cerita atau mengeluhkan sesuatu pada kalian?”
“Mboten, Bu. Terakhir Zizi Cuma cerita tentang seseorang bernama Zaky. Zizi mengenalkannya pada saya lewat facebook, tapi saya justru merasa kalo Zizi yang suka sama orang bernama Zaky ini.”
“Waktu KKN, Zizi memang sempat cerita kalo dia lagi seneng sama orang. Tapi anak itu tidak menyebutkan namanya. Mungkin si Zaky itu yang dia maksud. Adek punya nomor hp-nya?”
“Mboten, Bu. Kulo nggeh dereng natih kepanggih tiyange. Tapi nanti coba saya carikan kontaknya, atau saya coba hubungi sekalian.”
Air mata Mak Ipah tak terbendung lagi. Entah karena terharu, atau karena terlalu mengharapkan kesembuhan Zizi. Pak Jali yang baru pulang dari sawah, menyalami teman-teman Zizi.
“Bu, apa nggak ada yang tau password hape, laptop atau facebooknya?” Laras nyeletuk dalam keheningan ruangan itu.
“Kami bahkan tidak tau di mana Zizi menaruh hp dan laptopnya. Mencari nomor adek-adek ini saja sudah sulit sekali.”
“Jadi, waktu Zizi dibawa pulang dari Jogja…”
“Kami tidak menemukan laptop dan hapenya. Teman-teman di kosnya juga tidak ada yang tau. Yang mereka yakini, laptop Zizi masih ada, hanya entah dititipkan dimana. Karena Zizi pasti akan cerita pada mereka kalau dia kehilangan barang berharganya.”
Percakapan terus berlanjut tentang hari-hari Zizi di SMA, hingga perjalanan awal kuliahnya. Hanya saja, tak ada cerita yang bisa dikaitkan dengan kondisi Zizi sekarang.

Adab dan Tata Cara Berfilsafat

Refleksi Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Matematika
(Pertemuan ke-1)
By: Anniltal Manzilah (09301241028)

Sebelum mempelajari tentang filsafat pendidikan matematika, kita perlu mengetahui tentang filsafat. Filsafat adalah olah pikir yang refleksif, sehingga mata kuliah filsafat pendidikan matematika juga dilaksanakan dengan metode refleksif, yaitu mahasiswa diminta untuk membuat refleksi dari satiap pertemuan. Dalam mempelajari filsafat, kita harus mengetahui adab-adab dalam berfilsafat. Seperi halnya dalam beribadah, dalam berfilsafat pun, kita harus mengikuti adab atau tata caranya. Orang yang beribadah, harus melakukan adab-adab dan mematuhi tata cara yang telah ditentukan. Contohnya ketika seorang muslim akan melakukan sholat, maka adab atau tata caranya adalah harus berwudlu lebih dulu. Jika ibadah dilakukan tanpa mematuhi adab dan tata caranya, maka ibadah yang dilakukan tidak akan diterima atau hanya akan sia-sia. Begitu juga halnya dengan berfilsafat. Orang yang berfilsafat tanpa mengetahui adab dan tata caranya, maka berfilsafat yang dia lakukan hanya akan sia-sia.
Adab berfilsafat yang pertama adalah bahwa setinggi-tingginya filsafat, tetap tidak boleh melebihi spiritual. Filsafat harus selalu berada di bawah spiritual atau keyakinan. Karena filsafat adalah olah pikir dan olah pikir letaknya di pikiran. Sedangkan spiritual atau keyakinan letaknya adalah di hati. Sehingga setinggi-tinggi filsafat, jangan sampai melebihi spiritual, karena bisa menyeret kita menjadi orang yang sesat. Selain itu, untuk berfilsafat kita juga perlu memahami tentang konsep ketuhanan, agar kita tidak tersesat. Sebelum berfilsafat pun, kita perlu berdoa pada Tuhan, agar kita tidak tersesat dalam berfilsafat. Sehingga, kita perlu mengenal Tuhan sebelum berfilsafat. Untuk mengenal Tuhan, kita menggunakan hati, bukan pikiran. Sehingga kedudukan spiritual itu berada di atas filsafat.
Kemudian, adab berfilsafat yang kedua adalah bahwa filsafat itu hidup. Untuk bisa berfilsafat, kita harus hidup sehat. Hidup sehat disini artinya hidup yang sesuai dengan aturan yang berlaku, sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang baik, dan sejalan dengan hati nurani. Orang yang hidup sehat diartikan sebagai orang yang beradab. Sedangkan hidup yang tidak sehat contohnya seperti menghilang secara tiba-tiba tanpa kabar, dating tiba-tiba tanpa pemberitahuan, melakukan sesuatu dengan terpaksa, memaksa, dan lain sebagainya. Makna hidup yang tidak sehat juga bisa dikaitkan dengan kondisi fisik, contohnya seperti sakit atau cacat. Hakikat dari cacat ini adalah kurang atau tidak lengkap. Untuk berdoa dan beribadah, maka kita memerlukan kondisi yang sehat. Selain itu, hidup yang sehat juga memiliki makna hidup yang seimbang atau harmoni. Contohnya seimbang antara pemasukan dan pengeluaran dalam hal keuangan. Orang yang pengeluarannya lebih banyak dari pemasukan atau defisit bisa dikategorikan ke dalam hidup tidak sehat. Selain keseimbangan dalam keuangan, contoh keseimbangan hidup yang harus dipenuhi juga adalah seimbang antara kehidupan dunia dan akhirat. Orang yang hanya memikirkan kehidupan dunia tanpa menghiraukan akhirat dikatakan tidak seimbang, karena kehidupan yang kekal adanya di akhirat, bukan di dunia. Namun jika kita hanya memikirkan akhirat tanpa memedulikan dunia, maka hal tersebut juga tidak seimbang, karena kita sebagai manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan biologis seperti makan, minum, dan lain sebagainya yang merupakan urusan duniawi.
Filsafat adalah olah pikir. Maka, dalam berpikir itu kita menggunakan referensi. Satu tingkat diatas filsafat adalah spiritual atau keyakinan. Dalam berkeyakinan, kita menggunakan kitab suci. Lalu, di bawah filsafat ada yang disebut ilmu-ilmu bidang. Ilmu-ilmu bidang ini memiliki buku pintar sebagai pedomannya. Sedangkan di tingkat paling bawah, ada yang kita sebut kegiatan. Dalam kegiatan-kegiatan yang kita lakukan, semua selalu ada petunjuk teknisnya. Selain itu, dalam berfilsafat, kita menggunakan metode yang disebut terjemah-menterjemahkan, atau dalam hermeneutika. Dalam tatanan dewa-dewa Yunani, ada yang disebut Dewa Hermen, yaitu Dewa yang dianggap sebagai pembawa bisikan Tuhan. Yang dimaksud membawa bisikan Tuhan ini adalah bahwa Dewa Hermen menterjemahkan petunjuk dari Tuhan agar dapat dimengerti dan dilaksanakan ileh umat manusia saat itu.
Selanjutnya, setelah mengetahui dua adab berfilsafat di atas, kita juga perlu mengetahui alat untuk berfilsafat. Alat yang digunakan dalam berfilsafat adalah bahasa analog. Karena filsafat adalah olah pikir, maka jika kita menggunakan tulisan, olah pikir kita akan sulit mencapai maksimal. Jadi, dalam berfilsafat, alat yang kita gunakan adalah bahasa analog.
Obyek dalam berfilsafat dibagi menjadi dua, yaitu hal yang ada dan hal yang mungkin ada. Hal yang ada adalah segala sesuatu yang sudah ada di pikiran kita. Sedangkan hal-hal yang mungkin ada adalah hal-hal yang belum ada di pikiran kita. Hal yang da bisa kita teukan dalam pikiran kita. Sedangkan untuk hal yang mungkin ada, bisa menjadi ada jika kita mau mencari dari berbagai referensi, baik buku maupun internet atau bisa juga melalui narasumber.
Adab berfilsafat yang terakhir adalah berpikiran jernih. Berpikiran jernih ini maknanya adalah bahwa dalam berfilsafat, kita harus terbebas dari hal-hal yang membebani diri dan pikiran kita. Untuk dapat berpikiran jernih, maka kondisi fisik juga perlu diperhatikan. Jika fisik kita dalam keadaan sakit, maka kita tidak akan mampu berpikir jernih. Contohnya jika kita digigit kutu kemudian menggaruk kepala atau menahan sakit, maka konsentrasi kita dalam berpikir akan terganggu. Selain itu, berpikiran jernih juga diartikan bahwa kita memerlukan konsentrasi penuh. Jika perasaan kita tidak tenang, was-was, panik, dan lain sebagainya, maka kita tidak akan mampu berpikir jernih, sehingga kegiatan berfilsafat juga akan sulit dilakukan. Karena filsafat ini adalah olah pikir, maka kejernihan dan konsentrasi dalam berpikir adalah tata cara yang harus dipenuhi dalam berfilsafat. Selain itu, berpikiran jernih sangat penting dalam berfilsafat, yaitu agar kita tidak tersesat. Karena jika kita tidak mampu berpikiran jernih, berfilsafat ini bisa menjadi berbahaya.  Jangan sampai dengan berfilsafat, kita kemudian justru menyombongkan diri dan mulai mengusik tentang kitab suci apalagi tentang konsep ketuhanan. Jadi, adab-adab atau tata cara dalam berfilsafat ini harus dipenuhi agar kita dapat berfilsafat dengan benar dan tidak tersesat. Kejernihan berpikir di sini juga bisa diartikan kejernihan dalam memandang kedudukan filsafat.
Jadi, hakikat filsafat adalah olah pikir dan obyek dari berfilsafat cenderung hal-hal atau benda-benda yang sangat sederhana atau bahkan hal-hal sepele yang mungkin tidak pernah terlintas di pikiran kita.